Tuesday, September 20, 2016

Ga cuma mahasiswa fisip

[PAMFLET EGALITARIAN: SEKUMPULAN ARGUMEN PINCANG]

Minggu lalu mahasiswa FISIP digemparkan dengan terbitnya sebuah pamflet yang berisi serangkaian tulisan kritik terhadap kehidupan kampus di FISIP UI. Dari panitia ospek hingga anak komunitas merasa gondok karena tersindir dengan tulisan tersebut. Memang beberapa kritik yang diuraikan dalam beberapa rangkaian tulisan di pamflet Egalitarian, menurut saya, cukup signifikan. Kritik cerdas dan tegas diluncurkan sekumpulan insan-insan cendikia kurang seks (saya haqul yakin mereka kurang seks bila dilihat dari tulisan-tulisannya) terhadap senioritas di kampus, aktivisme mahasiswa, kegiatan lembaga dan komunitas di FISIP, dll. Tapi apakah tulisan-tulisan mereka tanpa celah?

Sebenarnya saya sepakat dengan beberapa bagian kritik Egalitarian: kritik mereka terhadap SIAGA FISIP UI, BPM FISIP UI, dan aktivisme mahasiswa. Namun menurut saya kritik-kritik yang mereka utarakan masih subjektif dan partikular, alih-alih melakukan pembacaan secara struktural terlebih dahulu. Saya hendak menggugat pembacaan pamflet Egalitarian terhadap keadaan material yang mengkondisikan mahasiswa FISIP. Usai saya membaca habis pamflet-pamflet yang diterbitkan Egalitarian, saya geleng-geleng kepala karena tidak adanya pembacaan yang holistik terhadap prakondisi dari aksioma dan metode yang dimiliki mahasiswa FISIP. Entah sibuk onani atau memang kemampuan analisis mereka culun, mereka lupa menyertakan pondasi vital yang semestinya mereka uraikan sebelum mereka mengkritik sana-sini.

Serangkaian kritik yang memang pantas dianggap angin lalu sebenarnya. Tapi karena saya kasian dengan mereka sebab memang betul balasan terhadap kritik-kritik mereka sangat minim (sejauh ini, yang saya tahu, baru muncul satu balasan terhadap kritik mereka, yaitu tulisan jawaban dari Kak Duke sebagai Ketua KMF), baiklah, akan saya uraikan kritik saya kepada Egalitarian. Semoga mereka senang karena akhirnya ada lagi orang yang mau repot-repot menanggapi tulisan-tulisan mereka.

Mahasiswa FISIP hari ini hidup di tengah-tengah agenda privatisasi dan korporatisasi pendidikan tinggi di Dunia. Agenda yang dicetuskan oleh WTO pada dekade 1990-an, bertujuan untuk mengubah pendidikan tinggi yang tadinya merupakan sektor publik, hak semua warga Negara, menjadi industri jasa. Kampus di mana mahasiswa FISIP berada menjadi salahsatu Universitas yang akan menjadi institusi penyedia jasa pendidikan. Karena pendidikan tinggi sekarang merupakan industri penyedia jasa, maka dibutuhkan sesuatu yang dikorbankan untuk mendapatkannya, dalam konteks UI adalah biaya kuliah.

Agenda privatisasi pendidikan didukung pula oleh Negara dengan menyunat alokasi dana operasional pendidikan tinggi tiap tahun. Hal ini membuat PTN mesti mencari pendanaan dari sumber lain. Pada tahun 2015 saja, 62% pemasukan UI dari mahasiswa. Privatisasi pendidikan terbukti telah membuat uang kuliah di UI mahal (untuk mahasiswa FISIP angkatan 2015 ke bawah maksimal membayar 5jt, untuk mahasiswa angkatan 2016  maksimal membayar 12,5jt, dan detil-detil mekanisme pembayaran yang secara tidak langsung mengarahkan mahasiswa untuk membayar mahal—akan sangat panjang bila saya uraikan).

Kenyataan inilah yang secara tidak langsung mengkondisikan orientasi mahasiswa FISIP sekarang di kampus. Dengan bayaran yang mahal, mahasiswa terpaksa fokus pada kegiatan-kegiatan yang menunjang karier mereka nanti di dunia kerja. Mahasiswa menjadikan lulus cepat sebagai prioritas utama di atas semua hal. Mahasiswa FISIP dikejar—meminjam Giroux—corporate time yang memang membentuk mereka untuk tidak berpikir kritis. Mahasiswa FISIP secara tidak langsung memang dibentuk oleh institusi pendidikan sesuai kebutuhan pasar tenaga kerja. Memperkaya diri secara intelektual dengan mempelajari literatur-literatur di luar bahan kuliah, berdiskusi kritis di luar kelas, melakukan aktivisme-aktivisme progresif, membentuk komunitas seni yang signifikan bagi kebudayaan rakyat, dan kegiatan-kegiatan kritikal lainnya—hal-hal yang diharapkan pamflet Egalitarian muncul di FISIP—tidak menjanjikan pendapatan tinggi setelah lulus. Bukannya mahasiswa FISIP tidak mampu atau tidak mau, tapi mereka dipaksa oleh keadaan yang membuat mereka tidak melakukan dan merasa tidak perlu melakukannya.

Dengan luputnya pembacaan di muka oleh pamflet Egalitarian, dampaknya adalah mereka gagal memberikan solusi alternatif yang sublar (sugab mendublar-dublar!) dari problem budaya FISIP yang mereka anggap stagnan. Pada beberapa tulisan pamflet, memang terdapat beberapa saran yang mereka jabarkan kepada mahasiswa, komunitas, dan lembaga di FISIP, namun saya meragukan potensi saran tersebut tepat guna dan kompatibel dengan praktek sosial mahasiswa FISIP. Keraguan saya berangkat dari gagalnya pamflet Egalitarian--sang pemberi saran--memahami keadaan material yang mengkondisikan sesuatu yang dikritiknya.

Di muka sudah saya jabarkan pembacaan dasar yang semestinya pamflet Egalitarian pahami sebelum mereka kritik kehidupan mahasiswa FISIP. Selanjutnya saya ingin mengutarakan kekecewaan saya terhadap salahsatu penulis Egalitarian, yaitu Kalmi Rama. Pada tulisan “di sana gunung, di sini gunung, ya, di situ anak FISIP”, Kalmi Rama berusaha mengkritisi kualitas mahasiswa FISIP dari ruang diskursus yang berseliweran di kampus dan jauhnya mahasiswa dari permasalahan masyarakat akar rumput. Saya tidak sepenuhnya menampik kritik dia, tapi ada bagian yang menyinggung hati saya. Tepatnya pada bagian, “Topik-topik akan berkisar pembahasan mengenai acara organisasi dan gaya hidup terkini. Tidak jarang, tentang lawan jenis dan selangkangan.” Kemanusiaan saya tersinggung mambaca kalimat kedua. Kalmi Rama dengan tulisan ini resmi menjadi pendeta dari gereja di Eropa pada abad ke-18. Dengan dalih mengkritik kualitas wacana, Kalmi Rama secara jelas melakukan represi terhadap seksualitas mahasiswa FISIP. Memang kenapa kalau kami membahas selangkangan? Membahas selangkangan adalah sebuah kejustrumalahan. Justru kami membahas hal yang paling substantif, dasar kebutuhan manusia setelah makan dan minum. Kami adalah orang-orang yang—meminjam Mitrardi dalam keadaan tinggi—Freudianly constrained, tidak perlu anda menjadi instrumen kekuasaan dan merepresi seksualitas orang lain. Camkan itu, Kalmi Rama!

Kurang lebih demikian kritik dari saya terhadap pamflet Egalitarian. Dengan kritik ini, saya
tidak bertujuan menjustifikasi ketidakkritisan mahasiswa FISIP, namun saya ingin menunjukan kekurangan yang sangat fatal dari pamflet Egalitarian. Semoga kritik ini tersampaikan dan dapat membuat pembacaan pamflet Egalitarian menjadi holistik. Selain itu, saya juga berharap punggawa-punggawa penulis Egalitarian dapat memenuhi kebutuhan seksnya dalam kehidupan perkuliahan. Tabik!

John Puntung

P.S. Emang lau-lau doang yang bisa punya nama pena





Re-Share by Wanura Nabilla
Sumber:
M. Hafidh Ma'ruf
Dalam line account
18 sept 2016

No comments:

Post a Comment