Tahun 2015 adalah tahun
besar bagi gizi di indonesia. Banyaknya anak-anak yang lahir selama krisis ekonomi
asia tahun 1997an akan lulus SMA dan beberapa akan melanjutkan pendidikan
universitas.
Anak-anak pada kelompok ini
akan cenderung ‘nakal’ di sekolah dan universitas dibanding mereka yang lahir
setelah krisis ekonomi Asia, sebut saja sekitar tahun 2002. Mengapa? Mereka
bersikap ‘nakal’ karena krisis ekonomi pada masa tersebut mempengaruhi mereka
selama periode paling rentan mereka – yaitu sejak dalam kendungan hingga usia 2
tahun.
Mengapa mereka begitu
rentan terhadap guncangan pada saat itu? Karena pada usia itu, mental dan fisik
sedang berkembang secara fundamental dan hanya sekali seumur hidup, sistem
tubuh seperti kekebalan dan perkembangan otak, yang menyebabkan gangguan apapun
bergema di seluruh siklus hidup dan jika masa ini terlewati akan berdampak
hingga generasi anak-anak kita dan cucu
Meskipun krisis keungan asia
berdampak negatif dan tidak stabil, indonesia bisa menjadi kekuatan ekonomi di
kawasan asia dan dunia. Sebaliknya, krisis yang tidak terekpose, malnutrisi di
indonesia terus terjadi, menggerogoti dan merusak fisik dan mental manusia dan
bertindak sebagai pengendali pada pertumbuhan ekonomi yang bisa sebagai luar
biasa sebagai china.
Pertimbangkan pertama laporan
nutrisi dunia yang hanya diluncurkan pada 9 februari menggunakan data dari who
dan unicef yang disediakan oleh pemerintah indonesia laporan menemukan berikut:
Di
seluruh dunia, malnutrisi melanda 45% balita, 37% balita indonesi terhambat,
lebih dari 5% bblr, dan 12% obesitas.
Kabar buruknya: anggaran
untuk mengatasi stunting tetap tak berubah selama enam tahun terakhir.
Indonesia tidak mengalami
kemajuan untuk memenuhi target 2025 untuk salah satu dari empat tujuan
kesehatan pbb yaitu balita stunting, wasting, obesitas dan anemia pada ibu
hamil.
Indonesia adalah salah
satu dari 17 negara (dari 117) dengan masalah kesehatan masyarakat yang serius
berkaitan dengan stunting balita, obesitas dan wasting. Sayangnya tidak sampai setengah
dari balita Indonesia yang tumbuh sehat.
Jadi, bukankan pertumbuhan ekonomi
secara otomatis dapat mengendalikan gizi buruk? Belum tentu. pertama,
pertumbuhan ekonomi tidak merata secara geografi dan penghasilanya dan bahkan perbedaan
ini terlihat sangat kontras, hal ini belum tentu menjadi faktor penentu gizi
buruk tanpa mengurangi tingkat kemiskinan Indonesia beberapa akhir tahun ini.
Kedua, bahkan jika
pendapatan bertumbuh secara luas, malnutrisi tidak hannya ditentukan oleh uang,
tapi setiap keluarga harus mampu untuk membeli makanan sehat dengan harga yang
terjangkau. Selain itu Ibu perlu waktu dan dukungan untuk menyusui anak-anak
lebih awal dan secara eksklusif selama enam bulan pertama kehidupan mereka.
Pelayanan air dan sanitasi
juga harus cukup bersih yang tidak membuat anak-anak sakit sepanjang waktu,
sehingga mereka dapat menyerap nutrisi yang mereka makan.
Sistem kesehatan harus
tersedia dan berkualitas baik untuk melakukan dasar-dasar pelayanan seperti
memberikan pelayanan kesehatan antenatal, persalinan, mencegah infeksi melalui
imunisasi, memberikan suplemen vitamin dan mineral dan mengobati infeksi ketika
terjadi. Hal-hal di atas dapat menunjukkan bahwa sistem kesehatan adalah
salahsatu titik lemah Indonesia.
Namun demikian, sejalan
dengan peningkatan penghasilan, selera makan bisa berubah, akan ada banyak
makanan yang dibeli jauh dari rumah dan banyak restoran makanan cepat saji
bermunculan. Konsumsi makanan tinggi garam, gula dan lemak meningkat dengan
cepat di indonesia. Dalam hal ini, pemerintah harus membantu mempermudah keluarga
untuk membuat pilihan yang sehat jika indonesia tidak ingin menjadi negara
dengan kelebihan berat badan dan obesitas tertinggi di asia tenggara.
Sudah ada intervensi yang
telah terbukti efektif di dunia yang bisa digunakan indonesia dalam hal ini. Yang
dampaknya perlu ditingkatkan seperti Pengamanan manakan dan pertanian harus
lebih sensitif gizi. Kebijakan lingkungan mungkin diperlukan dalam hal ini.
Pemerintah jelas
berkomitmen untuk mengurangi malnutrisi. Dalam hal ini, pemerintah termasuk
dalam anggota aktif dari gerakan perluasan gizi (scaling up nutrition (sun)), gerakan
ini adalah penandatangan “gizi untuk pertumbuhan” yang termasuk salah satu dari
banyak komitmen pemerintah/pihak terkait pada 2013 dan laporan gizi global
menilai komitmen ini akan bertumbuh pesat dalam prosesnya. Dengan syarat
nutrisi perlu menjadi topik utama dalam debat ekonomi.
Hal ini menunjukan bahwa
nutrisi jarang disebutkan pada setiap dokumen utama kebijakan ekonomi di
indonesia. Sayang sekali, ini benar-benar kesempatan yang terbuang. Hal
tersebut memperkirakan manfaat dari menginvestasikan satu rupiah di intervensi SUN,
untuk indonesia, manfaatnya perindividu dapat mencegah stunting benar-benar
menakjubkan: 48 rupiah manfaat mengalir dari investasi satu rupiah. Jadi 1rupiah
itu setara dengan 48rupiah. Sebuah rasio manfaat biaya dari 48rupiah. Lebih dari
periode 30-tahun kinerja yang merupakan tiga kali lebih baik dari kinerja pasar
saham as.
Indonesia memiliki potensi
untuk menjadi salah satu negara yang paling kuat di dunia. Tapi setelah melihat
kondisi gizi buruk Indonesia, hal ini akan terus menjadi titik kelemahannya.
Seperti kata pepatah, waktu terbaik untuk menanam pohon adalah 20 tahun yang
lalu dan waktu terbaik berikutnya adalah sekarang.
Bayi dan balita yang dapat
kita cegah dari stunting sekarang, akan tumbuh bahkan menjadi anggota yang
lebih produktif dari tenaga kerja dalam waktu 20 tahun.
Untuk indonesia ini adalah
generasi dalam masa penting karena dalam 20 tahun dari rasio jumlah orang usia
kerja terhadap orang-orang usia non-kerja akan mencapai puncaknya.
Transisi demografi ini
optimis disebut sebagai demografi "dividen-keuntungan yang dibagikan".
Berinvestasi dalam nutrisi akan membantu kelompok dividen demografi ini
terwujud dan yang lebih penting, akan membantu anak-anak bertahan hidup setidaknya
untuk ulang tahun kelima mereka. Inilah waktunya untuk menanam pohon itu.