daddy, I miss you so bad,
hate, when i just remenber every advice you've been said to me.
hate, when i just realize, everything happen just like what you said.
am i wrong?
when i have my own life?
am i wrong?
when i deciding something for my self?
daddy,
i miss you..
i'm bella
Sunday, August 6, 2017
Wednesday, May 17, 2017
Dear Dady
Ayah, hari ini aku dedikasikan waktu aku full day buat bantuon skripsi temanku,
Kita makan siang di asrama, karena kangen masakan rumah, there is something catch my eyes, a father waiting his daughter. alone. it just remain me on you dady, I miss u.
Remember for every single thing you do for me. you're sleep through home while thinking bout me, how do I can got my school, far away from home,
It fresh on my memory, for everything you've done for me, how you love me on your silent mien.
Dear daddy, I love you for sure
Kita makan siang di asrama, karena kangen masakan rumah, there is something catch my eyes, a father waiting his daughter. alone. it just remain me on you dady, I miss u.
Remember for every single thing you do for me. you're sleep through home while thinking bout me, how do I can got my school, far away from home,
It fresh on my memory, for everything you've done for me, how you love me on your silent mien.
Dear daddy, I love you for sure
Tuesday, September 20, 2016
Ga cuma mahasiswa fisip
[PAMFLET EGALITARIAN: SEKUMPULAN ARGUMEN PINCANG]
Minggu lalu mahasiswa FISIP digemparkan dengan terbitnya sebuah pamflet yang berisi serangkaian tulisan kritik terhadap kehidupan kampus di FISIP UI. Dari panitia ospek hingga anak komunitas merasa gondok karena tersindir dengan tulisan tersebut. Memang beberapa kritik yang diuraikan dalam beberapa rangkaian tulisan di pamflet Egalitarian, menurut saya, cukup signifikan. Kritik cerdas dan tegas diluncurkan sekumpulan insan-insan cendikia kurang seks (saya haqul yakin mereka kurang seks bila dilihat dari tulisan-tulisannya) terhadap senioritas di kampus, aktivisme mahasiswa, kegiatan lembaga dan komunitas di FISIP, dll. Tapi apakah tulisan-tulisan mereka tanpa celah?
Sebenarnya saya sepakat dengan beberapa bagian kritik Egalitarian: kritik mereka terhadap SIAGA FISIP UI, BPM FISIP UI, dan aktivisme mahasiswa. Namun menurut saya kritik-kritik yang mereka utarakan masih subjektif dan partikular, alih-alih melakukan pembacaan secara struktural terlebih dahulu. Saya hendak menggugat pembacaan pamflet Egalitarian terhadap keadaan material yang mengkondisikan mahasiswa FISIP. Usai saya membaca habis pamflet-pamflet yang diterbitkan Egalitarian, saya geleng-geleng kepala karena tidak adanya pembacaan yang holistik terhadap prakondisi dari aksioma dan metode yang dimiliki mahasiswa FISIP. Entah sibuk onani atau memang kemampuan analisis mereka culun, mereka lupa menyertakan pondasi vital yang semestinya mereka uraikan sebelum mereka mengkritik sana-sini.
Serangkaian kritik yang memang pantas dianggap angin lalu sebenarnya. Tapi karena saya kasian dengan mereka sebab memang betul balasan terhadap kritik-kritik mereka sangat minim (sejauh ini, yang saya tahu, baru muncul satu balasan terhadap kritik mereka, yaitu tulisan jawaban dari Kak Duke sebagai Ketua KMF), baiklah, akan saya uraikan kritik saya kepada Egalitarian. Semoga mereka senang karena akhirnya ada lagi orang yang mau repot-repot menanggapi tulisan-tulisan mereka.
Mahasiswa FISIP hari ini hidup di tengah-tengah agenda privatisasi dan korporatisasi pendidikan tinggi di Dunia. Agenda yang dicetuskan oleh WTO pada dekade 1990-an, bertujuan untuk mengubah pendidikan tinggi yang tadinya merupakan sektor publik, hak semua warga Negara, menjadi industri jasa. Kampus di mana mahasiswa FISIP berada menjadi salahsatu Universitas yang akan menjadi institusi penyedia jasa pendidikan. Karena pendidikan tinggi sekarang merupakan industri penyedia jasa, maka dibutuhkan sesuatu yang dikorbankan untuk mendapatkannya, dalam konteks UI adalah biaya kuliah.
Agenda privatisasi pendidikan didukung pula oleh Negara dengan menyunat alokasi dana operasional pendidikan tinggi tiap tahun. Hal ini membuat PTN mesti mencari pendanaan dari sumber lain. Pada tahun 2015 saja, 62% pemasukan UI dari mahasiswa. Privatisasi pendidikan terbukti telah membuat uang kuliah di UI mahal (untuk mahasiswa FISIP angkatan 2015 ke bawah maksimal membayar 5jt, untuk mahasiswa angkatan 2016 maksimal membayar 12,5jt, dan detil-detil mekanisme pembayaran yang secara tidak langsung mengarahkan mahasiswa untuk membayar mahal—akan sangat panjang bila saya uraikan).
Kenyataan inilah yang secara tidak langsung mengkondisikan orientasi mahasiswa FISIP sekarang di kampus. Dengan bayaran yang mahal, mahasiswa terpaksa fokus pada kegiatan-kegiatan yang menunjang karier mereka nanti di dunia kerja. Mahasiswa menjadikan lulus cepat sebagai prioritas utama di atas semua hal. Mahasiswa FISIP dikejar—meminjam Giroux—corporate time yang memang membentuk mereka untuk tidak berpikir kritis. Mahasiswa FISIP secara tidak langsung memang dibentuk oleh institusi pendidikan sesuai kebutuhan pasar tenaga kerja. Memperkaya diri secara intelektual dengan mempelajari literatur-literatur di luar bahan kuliah, berdiskusi kritis di luar kelas, melakukan aktivisme-aktivisme progresif, membentuk komunitas seni yang signifikan bagi kebudayaan rakyat, dan kegiatan-kegiatan kritikal lainnya—hal-hal yang diharapkan pamflet Egalitarian muncul di FISIP—tidak menjanjikan pendapatan tinggi setelah lulus. Bukannya mahasiswa FISIP tidak mampu atau tidak mau, tapi mereka dipaksa oleh keadaan yang membuat mereka tidak melakukan dan merasa tidak perlu melakukannya.
Dengan luputnya pembacaan di muka oleh pamflet Egalitarian, dampaknya adalah mereka gagal memberikan solusi alternatif yang sublar (sugab mendublar-dublar!) dari problem budaya FISIP yang mereka anggap stagnan. Pada beberapa tulisan pamflet, memang terdapat beberapa saran yang mereka jabarkan kepada mahasiswa, komunitas, dan lembaga di FISIP, namun saya meragukan potensi saran tersebut tepat guna dan kompatibel dengan praktek sosial mahasiswa FISIP. Keraguan saya berangkat dari gagalnya pamflet Egalitarian--sang pemberi saran--memahami keadaan material yang mengkondisikan sesuatu yang dikritiknya.
Di muka sudah saya jabarkan pembacaan dasar yang semestinya pamflet Egalitarian pahami sebelum mereka kritik kehidupan mahasiswa FISIP. Selanjutnya saya ingin mengutarakan kekecewaan saya terhadap salahsatu penulis Egalitarian, yaitu Kalmi Rama. Pada tulisan “di sana gunung, di sini gunung, ya, di situ anak FISIP”, Kalmi Rama berusaha mengkritisi kualitas mahasiswa FISIP dari ruang diskursus yang berseliweran di kampus dan jauhnya mahasiswa dari permasalahan masyarakat akar rumput. Saya tidak sepenuhnya menampik kritik dia, tapi ada bagian yang menyinggung hati saya. Tepatnya pada bagian, “Topik-topik akan berkisar pembahasan mengenai acara organisasi dan gaya hidup terkini. Tidak jarang, tentang lawan jenis dan selangkangan.” Kemanusiaan saya tersinggung mambaca kalimat kedua. Kalmi Rama dengan tulisan ini resmi menjadi pendeta dari gereja di Eropa pada abad ke-18. Dengan dalih mengkritik kualitas wacana, Kalmi Rama secara jelas melakukan represi terhadap seksualitas mahasiswa FISIP. Memang kenapa kalau kami membahas selangkangan? Membahas selangkangan adalah sebuah kejustrumalahan. Justru kami membahas hal yang paling substantif, dasar kebutuhan manusia setelah makan dan minum. Kami adalah orang-orang yang—meminjam Mitrardi dalam keadaan tinggi—Freudianly constrained, tidak perlu anda menjadi instrumen kekuasaan dan merepresi seksualitas orang lain. Camkan itu, Kalmi Rama!
Kurang lebih demikian kritik dari saya terhadap pamflet Egalitarian. Dengan kritik ini, saya
tidak bertujuan menjustifikasi ketidakkritisan mahasiswa FISIP, namun saya ingin menunjukan kekurangan yang sangat fatal dari pamflet Egalitarian. Semoga kritik ini tersampaikan dan dapat membuat pembacaan pamflet Egalitarian menjadi holistik. Selain itu, saya juga berharap punggawa-punggawa penulis Egalitarian dapat memenuhi kebutuhan seksnya dalam kehidupan perkuliahan. Tabik!
John Puntung
P.S. Emang lau-lau doang yang bisa punya nama pena
Re-Share by Wanura Nabilla
Sumber:
M. Hafidh Ma'ruf
Dalam line account
18 sept 2016
Minggu lalu mahasiswa FISIP digemparkan dengan terbitnya sebuah pamflet yang berisi serangkaian tulisan kritik terhadap kehidupan kampus di FISIP UI. Dari panitia ospek hingga anak komunitas merasa gondok karena tersindir dengan tulisan tersebut. Memang beberapa kritik yang diuraikan dalam beberapa rangkaian tulisan di pamflet Egalitarian, menurut saya, cukup signifikan. Kritik cerdas dan tegas diluncurkan sekumpulan insan-insan cendikia kurang seks (saya haqul yakin mereka kurang seks bila dilihat dari tulisan-tulisannya) terhadap senioritas di kampus, aktivisme mahasiswa, kegiatan lembaga dan komunitas di FISIP, dll. Tapi apakah tulisan-tulisan mereka tanpa celah?
Sebenarnya saya sepakat dengan beberapa bagian kritik Egalitarian: kritik mereka terhadap SIAGA FISIP UI, BPM FISIP UI, dan aktivisme mahasiswa. Namun menurut saya kritik-kritik yang mereka utarakan masih subjektif dan partikular, alih-alih melakukan pembacaan secara struktural terlebih dahulu. Saya hendak menggugat pembacaan pamflet Egalitarian terhadap keadaan material yang mengkondisikan mahasiswa FISIP. Usai saya membaca habis pamflet-pamflet yang diterbitkan Egalitarian, saya geleng-geleng kepala karena tidak adanya pembacaan yang holistik terhadap prakondisi dari aksioma dan metode yang dimiliki mahasiswa FISIP. Entah sibuk onani atau memang kemampuan analisis mereka culun, mereka lupa menyertakan pondasi vital yang semestinya mereka uraikan sebelum mereka mengkritik sana-sini.
Serangkaian kritik yang memang pantas dianggap angin lalu sebenarnya. Tapi karena saya kasian dengan mereka sebab memang betul balasan terhadap kritik-kritik mereka sangat minim (sejauh ini, yang saya tahu, baru muncul satu balasan terhadap kritik mereka, yaitu tulisan jawaban dari Kak Duke sebagai Ketua KMF), baiklah, akan saya uraikan kritik saya kepada Egalitarian. Semoga mereka senang karena akhirnya ada lagi orang yang mau repot-repot menanggapi tulisan-tulisan mereka.
Mahasiswa FISIP hari ini hidup di tengah-tengah agenda privatisasi dan korporatisasi pendidikan tinggi di Dunia. Agenda yang dicetuskan oleh WTO pada dekade 1990-an, bertujuan untuk mengubah pendidikan tinggi yang tadinya merupakan sektor publik, hak semua warga Negara, menjadi industri jasa. Kampus di mana mahasiswa FISIP berada menjadi salahsatu Universitas yang akan menjadi institusi penyedia jasa pendidikan. Karena pendidikan tinggi sekarang merupakan industri penyedia jasa, maka dibutuhkan sesuatu yang dikorbankan untuk mendapatkannya, dalam konteks UI adalah biaya kuliah.
Agenda privatisasi pendidikan didukung pula oleh Negara dengan menyunat alokasi dana operasional pendidikan tinggi tiap tahun. Hal ini membuat PTN mesti mencari pendanaan dari sumber lain. Pada tahun 2015 saja, 62% pemasukan UI dari mahasiswa. Privatisasi pendidikan terbukti telah membuat uang kuliah di UI mahal (untuk mahasiswa FISIP angkatan 2015 ke bawah maksimal membayar 5jt, untuk mahasiswa angkatan 2016 maksimal membayar 12,5jt, dan detil-detil mekanisme pembayaran yang secara tidak langsung mengarahkan mahasiswa untuk membayar mahal—akan sangat panjang bila saya uraikan).
Kenyataan inilah yang secara tidak langsung mengkondisikan orientasi mahasiswa FISIP sekarang di kampus. Dengan bayaran yang mahal, mahasiswa terpaksa fokus pada kegiatan-kegiatan yang menunjang karier mereka nanti di dunia kerja. Mahasiswa menjadikan lulus cepat sebagai prioritas utama di atas semua hal. Mahasiswa FISIP dikejar—meminjam Giroux—corporate time yang memang membentuk mereka untuk tidak berpikir kritis. Mahasiswa FISIP secara tidak langsung memang dibentuk oleh institusi pendidikan sesuai kebutuhan pasar tenaga kerja. Memperkaya diri secara intelektual dengan mempelajari literatur-literatur di luar bahan kuliah, berdiskusi kritis di luar kelas, melakukan aktivisme-aktivisme progresif, membentuk komunitas seni yang signifikan bagi kebudayaan rakyat, dan kegiatan-kegiatan kritikal lainnya—hal-hal yang diharapkan pamflet Egalitarian muncul di FISIP—tidak menjanjikan pendapatan tinggi setelah lulus. Bukannya mahasiswa FISIP tidak mampu atau tidak mau, tapi mereka dipaksa oleh keadaan yang membuat mereka tidak melakukan dan merasa tidak perlu melakukannya.
Dengan luputnya pembacaan di muka oleh pamflet Egalitarian, dampaknya adalah mereka gagal memberikan solusi alternatif yang sublar (sugab mendublar-dublar!) dari problem budaya FISIP yang mereka anggap stagnan. Pada beberapa tulisan pamflet, memang terdapat beberapa saran yang mereka jabarkan kepada mahasiswa, komunitas, dan lembaga di FISIP, namun saya meragukan potensi saran tersebut tepat guna dan kompatibel dengan praktek sosial mahasiswa FISIP. Keraguan saya berangkat dari gagalnya pamflet Egalitarian--sang pemberi saran--memahami keadaan material yang mengkondisikan sesuatu yang dikritiknya.
Di muka sudah saya jabarkan pembacaan dasar yang semestinya pamflet Egalitarian pahami sebelum mereka kritik kehidupan mahasiswa FISIP. Selanjutnya saya ingin mengutarakan kekecewaan saya terhadap salahsatu penulis Egalitarian, yaitu Kalmi Rama. Pada tulisan “di sana gunung, di sini gunung, ya, di situ anak FISIP”, Kalmi Rama berusaha mengkritisi kualitas mahasiswa FISIP dari ruang diskursus yang berseliweran di kampus dan jauhnya mahasiswa dari permasalahan masyarakat akar rumput. Saya tidak sepenuhnya menampik kritik dia, tapi ada bagian yang menyinggung hati saya. Tepatnya pada bagian, “Topik-topik akan berkisar pembahasan mengenai acara organisasi dan gaya hidup terkini. Tidak jarang, tentang lawan jenis dan selangkangan.” Kemanusiaan saya tersinggung mambaca kalimat kedua. Kalmi Rama dengan tulisan ini resmi menjadi pendeta dari gereja di Eropa pada abad ke-18. Dengan dalih mengkritik kualitas wacana, Kalmi Rama secara jelas melakukan represi terhadap seksualitas mahasiswa FISIP. Memang kenapa kalau kami membahas selangkangan? Membahas selangkangan adalah sebuah kejustrumalahan. Justru kami membahas hal yang paling substantif, dasar kebutuhan manusia setelah makan dan minum. Kami adalah orang-orang yang—meminjam Mitrardi dalam keadaan tinggi—Freudianly constrained, tidak perlu anda menjadi instrumen kekuasaan dan merepresi seksualitas orang lain. Camkan itu, Kalmi Rama!
Kurang lebih demikian kritik dari saya terhadap pamflet Egalitarian. Dengan kritik ini, saya
tidak bertujuan menjustifikasi ketidakkritisan mahasiswa FISIP, namun saya ingin menunjukan kekurangan yang sangat fatal dari pamflet Egalitarian. Semoga kritik ini tersampaikan dan dapat membuat pembacaan pamflet Egalitarian menjadi holistik. Selain itu, saya juga berharap punggawa-punggawa penulis Egalitarian dapat memenuhi kebutuhan seksnya dalam kehidupan perkuliahan. Tabik!
John Puntung
P.S. Emang lau-lau doang yang bisa punya nama pena
Re-Share by Wanura Nabilla
Sumber:
M. Hafidh Ma'ruf
Dalam line account
18 sept 2016
Wednesday, August 31, 2016
Bandung Untuk Indonesia Mendunia
Inovasi. Sebagai mojang Bandung,
mendengar kata inovasi, secara spontan banyak hal terlintas dalam pikiran saya,
terutama ketika kata inovasi itu sendiri dihubungkan dengan Bandung.
Seakan-akan Bandung itu adalah definisi dari kata inovasi itu sendiri. Yup! Bandung, memang kota yang spesial,
bahkan julukan Paris van Java tidak
segan di berikan kepada bandung sejak dulu. Masyarakatnya terkenal kreatif,
Keindahan alam, keramahan masyarakatnya, dan budayanya yang membuat Bandung
semakin spesial hingga ada prakata “Tuhan tersenyum ketika Ia menciptakan Bandung” -NN sampai “Dan Bandung, bagiku, bukan
cuma masalah Geografis, lebih jauh dari itu melibatkan Perasaan” -Pidi Baiq. Bandung memang indah, bahkan dalam sejarahnya.
Meskipun begitu, dari semua keindaahan dan julukan surgawi yang
dilabelkan kepada bandung, kota ini tidak selamanya berada diatas, julukan kota
sampah, kota korup, sampai bandung macet pernah juga terlabel pada Bandung. begitu buruknya label bandung saat
itu. Seakan tidak mau berlama-lama berada ‘dibawah’, Bandung bergeliat melawan
label buruk itu. warga bandung yang memang dipenuhi dengan ide dan kreativitas
seakan bergotong royong membangkitkan citra bandung. Banyak industri kreatif
yang kemudian bertumbuhan dikalangan warga bandung.
Bandung bergeliat!
beberapa inovasi bandung yang di publish walikkota Bandung dalam instagramnya @ridwankamil |
Seakan mendapatkan kabar baik, perlahan terdengar satu persatu warga bandung yang muncul dengan
inovasi kreatifnya. Warga bandung memang melek teknologi itulah sebabnya,
Bandung menjadi salah satu kota dengan pertumbuhan start up yang paling tinggi.
Tidak hanya itu, industri kreatif warganya pun serba berbasis teknologi, bahkan
banyak toko online seakan menjamur di bandung. Buktinya? Coba sebutkan toko
fashion yang sangat terkenal dan terpercaya di Instagram, bukan tidak mungkin
jika kamu memilih toko Adorable Project untuk berbelanja produk pashion dari bandung. Tidak hanya itu, orang
yang melancong ke bandung pun tidak akan kesulitan untuk mencari informasi
tentang tempat-tempat hang-out gaul dan keren
di bandung, atau sekedar mengetahui cuaca dan kondisi lalulintas bandung lewat
twitter di @infobdg atau @infobandung.
Bandung dalam genggaman anda.
Semua informasi bebas, transparan dan mudah diakses oleh siapapun. Yup
si-a-pa-pun. Jangan salah, bukan hanya tentang informasi hiburan yang dilakukan
dengan online. Bahkan prestasi pejabat bandung pun dinilai oleh warganya secara
langsung dalam aplikasi rapot online lurah/camat setempat. Suatu inovasi daerah yang
menakjubkan bukan? dan yang paling mencolok saat ini adalah penobatan bandung
sebagai Smartcity. Progres bandung smart city untuk saat ini seperti,
didirikannya bandung command center, panic button, bandung smart card yang
semuanya itu dilakukan dengan serius. Tidak tanggung tanggung, inovasi
teknologi ini diakui dunia dari ajang pemilihan World Smartcity Awards 2015 di
Barcelona, Spanyol yang membuat bandung setara dengan kota Peterborough di
Inggris, kota Buenos Airesdi Argentina, kota
Curitiba di Brazil, kota Moskow di Rusia, serta kota Dubai di Uni Emirat Arab.
Kemajuan bandung hingga saat ini, tidak lain dari warganya yang saling
bersatu dan semangat berkarya dengan seribu ide dan kreativitas yang seakan
ditakdirkan untuk warga bandung. Saling memotivasi menjadi kunci sukses warga
bandung, karena saya percaya, motivasi akan lebih berasa ketika kita mendapatkannya dari pengalaman orang
lain yang nyata dimata kita, dibandingkan jika hanya sekedar mendengarkan
kata-kata bijak dari seorang motivator. Tidak hanya itu, dukungan pemerintah
bandung juga manjadikan bandung semakin ‘nyata bergeliat’ dan bahkan siap berlari
maju melewati banyak kota lainnya di indonesia, bahkan di dunia, dari Bandung, untuk indonesia.
Menakjubkan bukan? Jadi, siapa yang tidak setuju jikas saya ucapkan
bahwa bandung sangat identik dengan inovasi?
Artikel ini diikutsertakan pada Kompetisi Menulis Blog Inovasi Daerahku - https://www.goodnewsfromindonesia.id/competition/inovasidaerahku
Tuesday, June 28, 2016
Subscribe to:
Posts (Atom)